
“Saya menekankan, untuk mempercepat beroperasinya ke 15 kapal LCT yang ada di dermaga plensengan, sebagai pengangkut alat berat yang sempat terjebak dalam kemacetan dan ini tentu juga cukup berpengaruh terhadap kelancaran daripada angkutan untuk Industri dan pariwisata, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi yang ada di Wilayah Bali tidak terganggu,” ujar BHS.
Alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini menargetkan, seluruh alat berat dan kendaraan yang terjebak kemacetan sudah bisa terangkut semuanya pada Sabtu sore 19 Juli, 2025, dan prosesnya bisa cepat dilancarkan. Apalagi, ke-15 kapal LCT tersebut sudah memiliki sertifikat kesempurnaan setelah kapal turun dok dan beberapa kali dilakukan rampcheck di angkutan lebaran dan setiap jam keberangkatan sebelumnya kapal-kapal LCT tsb sudah mendapatkan surat ijin berlayar sehingga bisa dianggap kapal tersebut laik laut beroperasi. Diharapkan proses penghentian kapal tersebut supaya segera dijalankan kembali
Selain itu, BHS juga mendorong percepatan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan yang saat ini sudah tertinggal untuk segera disesuaikan guna mendukung pemenuhan biaya standarisasi keselamatan dan pelayanan minimum.
Ia menekankan pentingnya ticketing bagi penumpang kendaraan dan pengemudi yang saat ini sesuai aturan KM 58 tahun 2003 tidak diberlakukan, harus segera diubah dengan aturan baru yang mewajibkan penumpang kendaraan dan pengemudi harus bertiket agar manifest tidak rancu seperti saat kejadian di tenggelamnya KMP. Tanu Pratama Jaya di perairan Selat Bali.
BHS juga menekankan pentingnya penyesuaian tarif untuk menunjang operasional perusahaan pelayaran dalam memenuhi standarisasi keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan pelayanan minimum bagi kapal-kapal penyeberangan yang saat ini sudah tertinggal lebih dari 38% berdasarkan perhitungan pemerintah (Kementerian Perhubungan, Kementerian Menko Marvest), YLKI dan asosiasi Gapasdap pada th 2019 yang lalu,” paparnya
BHS juga menekankan penganalisaan suatu kecelakaan tidak hanya pada operator saja tetapi harus totalitas kepada semua stakeholder keselamatan mulai regulator (pemerintah), fasilitator (kepelabuhanan), operator dan konsumen yang bisa berkontribusi terhadap keselamatan.
Ditambah lagi unsur penyelamatan (coastguard KPLP, Basarnas, Bakamla, Polair) yang saat ini perlu diintensifkan dengan menstandarisasikan kualitas penyelamatan dari sisi respon time harus tidak lebih dari 25 menit sebagaimana UU No 29 tahun 2014 tentang pertolongan dan pencarian yang berlaku untuk basarnas.
Tentu ini, ditentukan oleh SDM dan peralatan yang cukup agar garda terakhir penyelamatan bisa dilakukan dan pemerintah hadir disitu, tidak seperti penyelamatan KMP. Tunu Pratama Jaya yang hampir 95% dilakukan oleh para nelayan yang saat ini saya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada 16 nelayan yang telah menemukan 26 korban baik yang hidup maupun meninggal dunia.
Ditekankan BHS yang juga sebagai Alumni Teknik Pekapalan ITS pentingnya pembenahan fasilitas kepelabuhanan, terutama fasilitas dermaga yang memenuhi syarat dengan perlindungan break water agar kapal tidak terganggu arus laut dan peralatan pengukuran berat muatan kendaraan serta jenis-jenisnya untuk menunjang pemuatan dan penempatan kendaraan di kapal guna mengatur stabilitas dan daya apung kapal penyeberangan yang memuatnya agar terhindar dari stabilitas negatif seperti yang dialami KMP. Tunu Pratama Jaya.
Sebagai anggota Badan Legislasi DPR-RI, BHS juga mendorong Kementerian Perhubungan untuk segera menggelar kampanye keselamatan _(Safety Campaign) dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa keselamatan kapal penyeberangan sudah diatur dengan regulasi yang ketat bahkan terkesan highly regulated dibandingkan dengan negara-negara lainnya karena keselamatannya mengacu kepada aturan SOLAS (Safety of Life at Sea) karena ratifikasi IMO (International Maritime Organization). Ditambahkan, masih ada regulasi tambahan yang dilakukan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) sebagai klas selain Kemenhub Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Ini adalah satu-satunya satu negara yang menerapkan aturan kelas internasional untuk keselamatan angkutan penyeberangan, apalagi manajemen operasional keselamatannya juga masih harus mengacu standarisasi internasional ISM Code (International Safety Management Code) dan ini semua harus dikampanyekan dan di-refresh ulang tentang keselamatan kepada stakeholder keselamatan baik regulator, fasilitator, operator, konsumen, tim penyelamat dan tim penunjang keselamatan lainnya.
“Diharapkan, benih-benih kecelakaan bisa dihindarkan dan diharapkan angkutan penyeberangan bisa menuju ke zero accident,” pungkas BHS.(Pk/mtin)